Indonesia di Nina bobokkan oleh Kekayaan Alamnya

     Hampir di halaman awal dalam sebuah skripsi mahasiswa pertanian menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara Agraris yang mayoritas bekerja sebagai petani. Diikuti dengan ungkapan betapa kayanya negeri ini akan keanekaragaman hayati dan hasil pertanian yang melimpah. seakan sudah merasa cukup dan puas akan apa yang sudah ada. kita telah lupa jika pergerakan dunia itu sangat cepat. perubuahan terus terjadi di seluruh belahan bumi. tidak ada negara yang ingin tertinggal dari negara lain, atau terus saja bergantung dengan negara lain. serangkaian penelitian dan riset terus dilakukan. milyaran dollar terus diglontorkan untuk mendanainya. mereka terus bekerja dengan bayang bayang waktu, siang malam terus bergerak. sedangkan dalam negeri ini sibuk dengan terus memabanggakan dengan yang ada sekarang. inilah yang kemudian menjadi bom waktu yang bisa kapan saja menenggelamkan dunia pertanian Indonesia. 



      Bisa kita saksikan secara jelas, fenomena kekurangan bahan pangan yang terus saja melanda negeri ini. dari mulai padi, rempah, sampai kebutuhan pangan lain yang secara perlahan mulai menggantungkan diri dengan produk impor. Ada banyak motif yang mendasarinya mulai  karena harganya yang lebih murah, kualitasnya yang lebih baik, sampai jumlahnya yang melimpah. jika terus saja mengikuti alur, berjalan sedemikian rupa, bukan tidak mungkin Indonesia sebagai negara Agraris hanya akan menjadi sebuah semboyan belaka tanpa implementasi dan intepretasi yang jelas. 

    Keanekaragaman hasil pertanian Indonesia mulai menyempit dari waktu kewaktu. hal ini didasari akibat subsitensi wilayah pertanian Indonesia. Alih fungsi lahan kian marak terjadi. mengubah yang semula berupa tanaman organic kini berubah menjadi berbagai bangunan dan lahan galian. Sedangkan hutan yang dahulu kaya akan aneka biodeversitas  flora dan fauna kini telah seragam penuh dengan tanaman berduri (sawit) yang ironinya sebagian besar bukanlah milik kita.

     Banyak negara dan swasta yang berlomba berebut kekayaan alam kita. Mereka tau jika bangsa ini belum mampu untuk mengolahnya, bahkan sadar pun tidak jika punya kekayaan sebanyak ini. Sehingga mulai berdatangan Investor asing yang disambut meriah dan ramah oleh negara. Negara pikir mereka bisa membangun negeri ini? bagaimanapun ceritanya Investor atau swasta tetaplah menginginkan keuntungan. itu yang kita sambut dengan gembira. 

tidak salah memang jika ada inveestor yang mampir ke tanah air, bahkan itu bagus. Akantetapi harus di lihat dulu apa yang mereka beri dan apa yang akan mereka dapatkan. Seringkali pemeritah dan aparat negara begitu dengan mudah dan luesnya menerima mereka dengan tangan terbuka. Seakan mereka adalah malaikat penolong ekonomi bangsa, penggerak mobilitas bangsa.

   Eyang Habibie pernah berujar " Tidak ada yang dapat diandalkan/ dipercaya untuk membangun negeri ini kecuali bangsa ini sendiri". Jelas dan logis bukan,? Sebaik apapun mereka tetap punya negara asal. Dimana mereka juga pasti lebih cinta dan peduli terhadap negara mereka. Mereka cari banyak -banyak keuntungan asing untuk membangun negeri mereka.
     
        Kita tidak  mengambil pelajaran dari Penjajah Belanda, bagaimana awalnya mereka datang ke Nusantara dengan sopan, kalem, dan jinaknya, hingga yang seharusnya menjadi tuannya mereka gigit juga. Sejarah membuktikan bahwa bangsa Belanda bisa membangun negaranya hingga menjadi negara besar berkat hasil jajahannya di Indonesia. Betapapun tidak, sampai saat ini belum ada perusahaan di dunia ini  yang mengalahkan jumlah valuasi dari VOC. Bahkan Saudi Aramco, Aple, Microsoft, Amazon dan perusahaan besar lainnya belum sebanding dengan jumlah kekayaan yang dimiliki oleh Voc. Apa yang sebenarnya mereka incar dari negara ini,? ya tentu saja mereka tahu jika negara kita kaya baik dari bahan alam, tambang, sampai potensi perdagangan lintas negaranya. 
sehingga mereka berani melakukan agresi militer hingga dua kali karena tak rela sumber kakayaannya lepas dari tangan mereka.

      Kembali lagi dengan paradigma masyarakat yang masih menganggap negara ini kaya akan sumber daya alamnya. Disini mungkin ada salah persepsi dengan apa yang dimaksudkan pada kata "kaya".  Kaya yang ada sekarang adalah banyak dalam hal kuantitas tapi kalah dalam hal kualitas. disinilah kemudian hal ini menjalar pada berbagai permasalahan perdagangan.seperti misalnya CPO kita yang ditolak cina, kedelai kita yang kalah dari Amerika, Bawang kita yang kalah dari China dan masih banyak lagi produk pertanian Indonesia yang belum mampu menembus pasar ekspor. 

     Bagaimana kita bisa memperhatikan dengan seksama pada negara mungil bernama Singapura. Mereka yang luas lahannya tidak lebih luas dari DKI Jakarta mampu mengalahkan Indonesia dalam hal ekspor cengkeh. darimana mereka mendapatkan cengkeh, padahal kan mereka tidak punya lahan? disinilah teori Perdagangan Internasional HO (Eli Heckscher & Beril Ohlin) berlaku. Dimana mereka mengambil barang mentah dari luar yang kemudian mereka olah sedemikian rupa dengan kualitas dan spesifikasi produk yang diinginkan pasar kemudian mereka menjualnya kembali. 
apakah mereka licik?  tentu saja tidak, mereka hanya cerdas selangkah bahkan tiga langkah lebih maju. 

     Banyak negara yang iri dengan kekayaan yang dimiliki Indonesia.  Namun seakan tenggelam dalam pujian dan terhanyut dalam kesombongan dan kebanggan membuat negara ini seperi ikan yang berenang dalam air.tak sadar dengan apa yang ada di sekitarnya. Jika hal ini terus saja berlanjut, bukan tidak mungkin semua  produk pangan kita akan bergantung dengan negara lain. 

       Memang dalam situasi yang seperti ini, tidak pantas jika kita harus menyalahkan satu pihak tertentu. Tentu saja semua hal yang terjadi ada sesuatu yang berada di luar kendali. kondisi geodrafis yang sulit akan menyulitkan transfer teknologi terbaru, ditambah lagi sumber daya manusia yang masih minim pengetahuan terkait dunia pertanian yang terbaru.

          Bidang pertanian masih akan terus menjadi kebutuhan Utama bagi semua negara di dunia. karena tidak mungkin mereka akan makan besi, makan emas, makan tanah ataupun hanya sekedar meminum air. Sehingga perlu untuk dilakukan pengembangan lebih jauh terkait produk pangan kita. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KKN Di Desa Sendiri : Memberdayakan Rumah Sendiri Kenapa Tidak..?

mata kuliah Kewirausahaan UNI*

Ngaret, "Bad Habbit" yang jadi budaya