Broken Home

 Aku berasal dari keluarga yang sedari awal ingatanku selalu mengalami keributan. Bapak dan Ibu hanya satu atau dua kali terlihat saling menebar senyum semenjak aku bisa mengingat. Masalah yang aku terima itu kurasakan kini semakin berat, namun memang aku tak menganggap aku paling menderita di bumi ini. Masih banyak di luar sana yang masalah keluarganya lebih berat, lebih rumit, dan lebih menyakitkan.

aku selalu kagum pada mereka yang memiliki masalah keluarga antara ayah dan ibu mereka, namun mereka masih bisa bertahan,bahkan berdamai menerima itu semua. dan memang begitulah seharusnya. tapi tak semua orang bisa, termasuk aku. aku bukan menyesali itu semua terjadi, namun aku merasa belum bisa melakukan hal yang berarti untuk mengatasi itu semua. 

Banyak orang yang membalas kegagalan hubungan orang tua mereka dengan banyaknya prestasi, menjadi orang yang hebat. didewasakan oleh keadaan. Tapi aku lemah, tak sekuat mereka. akupun telat menyadari bahwa kondisi keluargaku ternyata seburuk itu jika aku pandang sekarang.

 Ibu sudah 4 kali menikah, tiga kali yang aku rasakan dan salah satu pernikahannya menjadi buah bibir di masyarakat yg terjadi karena adanya fitnah. sedangkan ayah yang aku tahu, sudah 5 kali menikah. Ketika aku lihat sekarang, rasanya adakah keluarga sekacau ini semorat-marit ini?. Aku melihat pertengkaran terhebat yg pernah aku lihat di keluarga dan desa. semua orang pasti tau kejadian itu. Aku uga melihat, sama seperti mereka yang mengalami broken home, perlakuan kasar seorang ayah pada ibu. 

Aku tumbuh di keluarga yang tidak membimbing kemana tujuan hidup. jika orang lain memiliki teman sebagai gantinya, aku tidak sama sekali ada teman untuk bisa kuajak bicara. Ibu selalu memberikan nasihat yang umumnya dilakukan orang tua pada anaknya. dan satu hal yang sangat penting adalah soal perasaan, bagaimana kita seharusnya bisa merasakan masalah, penderitaan orang lain. 

ayah selalu memarahiku ketika pergi bermain, harus sembunyi-sembunyi ketika akan bermain. jadilah aku anak rumahan yang tak pandai komunikasi dan bersosialisasi. ada jarak antara aku dan orang tua terutama ayah. dampaknya aku rasakan sekarang. aku memendamnya sendirian. aku hanya berjalan sendiri, mengikuti arus yang entah kemana akan membawaku.

Jadilah aku manusia lemah, sekarangpun dari kata pertama aku tulis mataku sudah basah. Jujur aku tak punya satu teman itupun di SMA yang bisa sedikit memberi warna. sebelum dan setalahnya aku hanya sendiri. Aku menuruni sifat ibu, yg mudah tersentuh, itu bisa dianggap kelemahan atau juga sedikit kelebihan. lemah sebagai serang lelaki.

aku tak pernah terpikir untuk punya teman dekat perempuan (pacar). pergaulaku sempit, sehingga hal semacam itu tak jadi pikiranku. selain memang itu dilarang bukan. aku hanya sekedar menyukai, itu saja. tak pernah ada usaha untuk bisa bersama. 

Baru 4 bulan yang lalu aku merasakan rasa suka itu lagi. bukan pada pandangan pertama, tetapi karena dia punya latar belakang dan kepribadian yang sesuai denganku. saat dia mulai bercerita, disaat itulah aku mulai bisa merasakan kehidupannya di masa lalu. di dari keluarga yang berpisah juga, namun dia bisa berdamai dan membuktikan kecintaan pada orang tuanya dengan pencapaian yang membuat mereka bangga. dialah yang membuat perasaanku hidup lagi.

namun seperti kebanyakan kisah asmara. aku tak mengungkapkannya, karena memang bukan saatnya. aku hanya diam, dan dihancurkan oleh perasaan sendiri. aku awam soal percintaan. sehingga telat menyadari jika dia tipe orang yang mudah bergaul. aku cemburu, aku tak bisa menahan cemburu. maka kuputuskan untuk berusahan berhenti berharap. tapi, perasaan yang baru bangun setelah sekian lama diam tak bisa seketika itu juga mati. aku menyesal telah membuka pintu itu terlalu lebar. dan rasanya itulah perasaan patah hati yang pertama. Aku sebenarnya masih berharap padanya, tapi rasanya bakal sulit jika dia terus seperti ini. dia orang yng suka publikasi diri, aku tak suka itu. 

Kupersilahkan kalian yg kesini untuk membaca sampai akhir tulisan ini, aku hanya sedikit berusaha untuk melepaskan beban pikiran. dan supaya kita bisa sesama belajar tentang perasaan. Jika kalian melihat tulisanku di atas kacau, akupun menyadarinya. struktur kalimat, pemilihan kata, Alur cerita, aha abaikan itu semua. Aku hanya menuisnya secara spontan, mengikuti alur yang sedang kupikirkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KKN Di Desa Sendiri : Memberdayakan Rumah Sendiri Kenapa Tidak..?

mata kuliah Kewirausahaan UNI*

Ngaret, "Bad Habbit" yang jadi budaya